Provinsi
Jawa Tengah melalui P2PAUDNI Regional 2 Jawa Tengah mengalokasikan dana
Rp300 juta untuk mengembangkan Kampung Literasi. Sebagai
uji coba, Desa Bergaslor Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang ditunjuk
sebagai percontohan. Menjadi Kampung Literasi pertama di Jawa Tengah,
sekaligus di Indonesia.
Kampung
literasi, menurut Jamaludin dari Dikmas P2PAUDNI, merupakan satu upaya
mewujudkan masyarakat berliterasi dengan makna luas. Yakni upaya
memerdekakan masyarakat dari keniraksaraan agar memiliki pengetahuan
serta pemahaman lebih luas.
Kegiatan
Kampung Literasi difokuskan pada penyediaan bahan bacaan pada gardu
baca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), warung baca, pojok baca, teknologi
Informasi, serta literasi seni budaya dan literasi kesehatan.
’’Banyak literasi yang bisa digarap dalam kampung literasi,’’ kata Kabid Dikmas P2PAUDNI Drs. Suka MPd. (Suara Merdeka, 2/6/ 2012).
Ijtihad literasi Pemerintah Jateng ini perlu kita sokong bersama. Saya kira, dalam konteks jargon bali ndeso mbangun desa,
program Kampung Literasi tersebut juga sangat relevan. Hanya saja yang
harus ditilik ulang, jangan sampai program tersebut sekadar berorientasi
proyek semata. Bersifat jangka pendek. Tidak memiliki visi yang jelas. Serta kaburnya titik tujuan terjauh yang hendak dicapai.
Melalui
tulisan ini, izinkan saya memberikan beberapa catatan penting agar
kekuatiran-kekuatiran di atas tidak berlangsung. Catatan penting
tersebut adalah bertalian dengan frasa “Kampung Literasi” dilihat dari
segi teks maupun konteks. Pemahaman atas teks dan konteks frasa “Kampung
Literasi” akan memahamkan sekaligus merekomendasikan kegiatan-kegiatan
yang bisa disusun dan infrastruktur yang harus ada dalam sebuah “Kampung
Literasi.”
Saya
mulai dari lema pertama, yakni “kampung”. Kata ini bisa didekati
melalui dua pendekatan: geografis, dan sosiologis. Pendekatan geografis
menghasilkan pengertian atau definsi yang bersifat fisikal. Hasil dari
pendekatan ini berupa data-data yang bersifat kuantitatif dan fisikal.
Misalnya luasan kampung. Batas kampung. Lokasi atau posisi kampung. Data
yang terkumpul menjadi input saat merumuskan fokus luasan area
kerja/program.
Sedangkan pendekatan sosiologis akan menghasikan data-data bersifat kualitatif—yang pada beberapa kasus bisa diangkakan, dan intangibel. Misalnya
tingkat pendidikan, mata pencaharian, rerata pendapatan perhari/bulan,
para pelaku seni dan budaya, sistem norma yang disepakati, sistem religi
yang amini, struktur sosial yang telah melembaga, pola kekerabatan,
serta praktik berekonomi yang berlaku.
Pengetahuan
yang lengkap dari segi sosiologis atas sebuah kampung akan membawa
warganya semakin mengetahui, dan memahami nilai-nilai lokalitas yang
disadari atau tidak telah turut membentuk identitas dirinya. Baik
sebagai makhluk personal (individual, pribadi), maupun komunal
(masyarakat, bagian dari lingkungan di mana ia hidup). Tidak cukup di
situ, pemahaman itu akan memunculkan kesadaran baru berupa ikhtiar untuk
mendayagunakan segenap potensi yang ada agar lebih optimal. Lebih
memberikan manfaat yang nyata buat diri dan orang lain. Benefit sosial
maupun profit ekonomi.
Pada
titik itu, tiap warga kampung akan menjadi pribadi-pribadi yang otonom.
Berani tampil menjadi subjek yang mampu memberikan tafsir, dan
penilaian (baru) atas sejarah geografis dan sosiologis kampungnya.
Sekarang
kita berbicara tentang lema kedua, yaitu literasi. Selama ini, kata
literasi dipadankan dengan kata keberaksaraan atau melek huruf. Secara
konseptual, ada tiga kategori melek huruf. Yaitu pertama, melek huruf
secara teknis. Artinya jika seseorang sudah bisa mengenal huruf, kata,
dan kalimat, maka ia bisa dikatakan sudah melek huruf secara teknis.
Kedua, melek huruf secara fungsional. Artinya seseorang yang secara
teknis sudah bisa membaca, dan ia mempraktikkan kemampuan membacanya
itu. Hanya saja, teks yang dibaca terbatas pada teks (bahan bacaan/buku)
yang ada kaitannya dengan pekerjaan/profesinya. Melek huruf ketegori
ini juga bermakna kemampuan pembacanya menghubungkan antara buku yang
dibaca dengan pekerjaannya. Termasuk mempraktikkan isi suatu buku, untuk
kemudian ditekuni, dikembangkan dan dijadikan profesi yang menghasilkan
keuntungan ekonomi.
Ketiga,
melek huruf secara budaya. Yakni mereka yang bisa membaca,
mempraktikkan kemampuan membacanya, dan buku yang dibaca tidak hanya
terbatas pada tema-tema yang sama dengan bidang pekerjaannya. Melek
huruf jenis ketiga ini juga tidak menjadikan buku sebagai satu-satunya
sumber bacaan.
Atas
dasar pemahaman frasa “Kampung Literasi” di atas, maka hemat saya dalam
sebuah Kampung Literasi, tiap gerai baca yang dibangun, entah itu
namanya gardu baca, TBM, warung baca, pojok baca, atau apapun
namanya mayoritas koleksi buku dan non buku (film, musik, piranti
teknologi informasi/alat peraga) yang dilayankan juga harus linear
dengan karakteristik lokasi yang dijadikan gerai baca. Di
ruang tunggu puskesmas atau posyandu tepatlah kiranya jika memperbanyak
buku-buku tentang kesehatan. Di ruang tunggu bengkel, manjakan para
pelanggan dengan buku-buku dan bahan bacaan yang bertalian dengan
otomotif. Baik sepeda motor maupun mobil.
Sedangkan di lembaga keuangan dan perbankan misalnya, maka buku-buku tentang keuangan, kewirausahaan, managemen cash flow, perbankan, investasi, ekonomi, saya kira sangat tepat untuk dikoleksi.
Linearitas antara isi koleksi dan lokasi gerai baca akan mendaulat tiap gerai baca menjadi
gerai-gerai baca yang memiliki keunikan dan kekhasan. Keunikan itu
penting agar sebuah Kampung Literasi bisa menjadi tempat bagi lahir dan
tumbuhnya simpul-simpul komunitas pembaca buku, sekaligus praktisi
tematik: kesehatan, transportasi, perbankan, otomotif, dan lain
sebagainya. Kampung Literasi tidak sekadar himpunan TBM, tapi juga
memberikan ruang, fasilitasi, dan kesempatan untuk mempraktikkan dan
mengembangkan isi bacaan.