Selasa, 14 Maret 2017

Pelayanan Administrasi Terpadu Kelurahan Bergaslor




Terhitung mulai tanggal 1 Januari 2017, Kantor Kelurahan Bergaslor telah memiliki sistem pelayanan terbaru Pelayanan Administrasi Terpadu. Hal ini dibuat semata untuk memperbaiki kualitas pelayanan publik di Kantor Kelurahan Bergaslor.

Sarana Penunjang :
-       Ruang Pelayanan Luas, Bersih dan ber AC
-       Komputer Pelayanan 2 unit
-       Administrasi sekali hadap
-       Ruang laktasi
-       Ruang tunggu
-       Televisi
Sumber Daya Manusia :
-       2 petugas pelayanan standby


 (Hamid Anwar)

Senin, 23 Desember 2013

Pelatihan Simpeda


Perencanaan adalah suatu proses untuk menentukan tindakan masa depan yang tepat, melalui urutan pilihan, dengan memperhitungkan sumber daya yang tersedia. Perencanaan disusun sesuai dengan kewenangan daerah sebagi satu kesatuan dalam sistem perencanaan nasional. Berdasarkan UU 25 Tahun 2004 untuk proses disusunnya perencanaan sampai penerbitan Nota Kesepakatan KUA/PPAS.

Modul Perencanaan terdiri dari beberapa langkah :
1. Input data RPJMD
2. Input data RKPD
3. Input data Renstra
4. Input data Renja
5. Input Nota Kesepakatan KUA/PPAS

Acara diselenggarakan di Lab Komputer Pengelolaan Data Elektronik (PDE) Kompleks Sekretariat Daerah Kabupaten Semarang , Selasa 24 Desember 2013 (Hamid Anwar. foto : Hamid Anwar)

Selasa, 17 Desember 2013

Musrenbang Kelurahan Bergaslor Tahun 2014

 
Selasa (17/12/13) malam, Kelurahan Bergaslor mengadakan Musyawarah Rencana Pembangunan (Musrenbang) Tingkat Kelurahan. Turut hadir Lurah Bergaslor, Ketua LKMK, Kasi Pemerintahan Kecamatan Bergas, unsur PKK dan para Ketua RT/RW.
Hasil musyawarah yang dipandu oleh Ketua LKMK, Sukamto menyepakati untuk persiapan alokasi dana hibah yang dipastikan turun tahun 2014 sebagian besar akan digunakan untuk pembangunan Ruang Terbuka Hijau (RTH) di Kawasan Sikepil. Perlu diketahui saat ini di Sikepil setelah terbangunnya pasar desa, pos kesehatan desa, dan sebentar lagi akan hadir PAUD. Diharapkan dengan adanya RTH kawasan Sikepil akan semakin ramai dan bisa dimanfaatkan sebagai tempat berkumpulnya warga Bergaslor.

Sementara itu, untuk beberapa usulan pada Musrenbang tahun lalu seperti pengaspalan, irigasi, dan lain lain akan diteruskan pada musrenbang tingkat kecamatan. Usulan untuk tahun 2015 sendiri akan diusulkan dari tiap tiap RW kepada Lurah Bergaslor melalui Kasi Pembangunan dan Kesra. (Hamid Anwar, foto : Hamid Anwar)

Kamis, 05 Desember 2013

Tirta Nursari: Mengelola Warung Pasinaon

 
Tirta Nursari dan Andy F Noya , Sumber facebook.com

TIRTA NURSARI

Lahir: Brebes, Jawa Tengah, 7 Maret 1973

Suami: Hermawan budi Sentosa (45)

Anak:

- Zavier Raihan Aaf (10)

- Taj Abbad Abdullah (6)

Pendidikan: D-3 Ekonomi Akademi Perdagangan Tjendekia Puruhita, Semarang, 1995  

Penghargaan:

- Juara I Manajemen Taman Bacaan Masyarakat (TBM) se-Jawa Tengah, 2009

- Juara I TBM Kreatif Tingkat Nasional, 2011


Ada apa saja di Warung Pasinaon? "Semuanya ada. Mau minta apa saja di sini, kalau dapat memenuhinya, akan kami penuhi. Makanya, kami menamai tempat ini warung. Bedanya, ini warung untuk siapa saja belajar banyak hal," kata Tirta Nursari menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.


OLEH AMANDA PUTRI NUGRAHANTI


Tirta Nursari adalah pendiri Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Warung Pasinaon di Desa Bergas Lor, Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang, Jawa Tengah. Diberi nama warung agar banyak orang tertarik datang ke tempat itu dan pulang dengan "kenyang" ilmu pengetahuan. Sedangkan "pasinaon" dalam bahasa Jawa berarti pembelajaran. Siapa saja yang ingin belajar boleh datang ke warung ini.

     Berawal tahun 2007, Tirta melihat banyak anak-anak di lingkungan tempat tinggalnya kurang mendapat perhatian orangtua. Sejak daerah itu tumbuh menjadi kawasan industri, sebagian besar warga bekerja sebagai buruh pabrik, terutama kaum perempuan.

     Waktu seorang ibu berada di rumah justru minim. Para ibu pergi bekerja pagi dan pulang pada malam hari. Peran mereka di sektor domestik digantikan kaum bapak. Anak-anak yang kurang mendapat perhatian, pergaulannya pun tak terkontrol. Beberapa anak bahkan mengalami kekerasan dalam rumah tangga.

     Kondisi tersebut membuat Tirta memutuskan berhenti mengelola lembaga bimbingan belajar (bimbel) miliknya. Alasannya, pengelolaan bimbel yang profesional tak mampu menjangkau anak-anak yang berasal dari keluarga tak mampu.

     "Saya putuskan bergerak di bidang sosial saja supaya anak-anak itu bisa memiliki tempat belajar. Saat itu saya membayangkan, anak-anak butuh tempat untuk menyalurkan energi mereka dengan hal-hal yang positif," kata Tirta yang kemudian membuka bimbel Bahasa Inggris gratis untuk anak-anak.

     Keberadaan bimbel bahasa Inggris itu ditawarkannya kepada warga lewat pengumuman di masjid. Proses pembelajaran pun dimulai di masjid. Berawal dari 14 anak yang tertarik mengikuti bimbel, dalam tempo sebulan, jumlahnya bertambah menjadi 40 orang.

     Namun, sebagian warga merasa terganggu dengan keberadaan bimbel tersebut. Saat itu Tirta tinggal di rumah orang tuanya di Desa Talun, Kecamatan Bergas. Jadilah proses belajar-mengajar dilakukan di rumah orangtuanya. Tirta menyertai bimbel itu dengan membuka perpustakaan dengan koleksi buku-bukunya sendiri.

     Meski kegiatan sosial tersebut sempat tidak disetujui sang ayah, saat Tirta mengadakan pengobatan gratis atas bantuan berbagai pihak, hati ayahnya pun luluh. Jadilah kegiatan belajar-mengajar ini dinamakan "TBM Warung Pasinaon". maksudnya, di mana saja dan siapa saja dapat mempelajari sesuatu dan berbagi dengan yang lain.

     "Anak-anak di kampung ini biasanya meminta sesuatu kepada orangtua mereka. Nah, kalau orangtua mereka terlalu sibuk, anak-anak bisa memintanya di tempat ini," ujar Tirta.

     Tahun 2009, Tirta dan suaminya Hermawan Budi Sentosa, bisa membangun rumah sendiri. TBM Warung Pasinaon pun pindah ke rumah mereka. Teras rumah menjadi ruang terbuka bagi siapa saja, dan dipenuhi rak dengan buku-buku yang dapat dipinjam siapa pun.

     Jumlah anak yang belajar di TBM Warung Pasinaon bisa mencapai 200 anak, dari usia taman kanak-kanak hingga SMA. Mereka umumnya datang setelah jam sekolah usai, sekitar pukul 12.30 dan berakhir hingga malam hari.


Merangkul kaum ibu


     Tak hanya anak-anak, tetapi kaum ibu pun belajar di TBM Warung Pasinaon. Mereka adalah ibu-ibu yang mengikuti program Keaksaraan Fungsional guna memberantas buta aksara. Tirta pun menggagas lahirnya sebuah media untuk para ibu agar mereka dapat terus mengasah kemampuan baca tulisnya.

     Kebetulan, kata Tirta, saat itu ada program dari Departemen Pendidikan Nasional (kini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) untuk pembuatan Koran Ibu. Maka, Tirta dan sekelompok ibu membuat media berbentuk buletin dan menamainya Koran Ibu Pasinaon. Koran itu terbit setiap bulan dengan oplah 1.000 eksemplar dan disebarkan ke sekolah-sekolah ataupun komunitas ibu-ibu di Kabupaten Semarang.

     Sekitar 20 ibu yang sebelumnya buta huruf atau tak lancar baca tulis kini rajin membaca dan membuat tulisan untuk dimuat Koran Ibu Pasinaon. Dari tiap tulisan yang masuk, sebagian dipindai dan dimuat apa adanya, sebagian diedit dan diketik ulang.

     Isi koran itu adalah hal-hal yang dekat dengan kehidupan ibu-ibu, seperti tips kesehatan, resep masakan, dan persoalan kehidupan sehari-hari, misalnya kenaikan harga bahan pokok dan mahalnya biaya pendidikan.

     "Ibu-ibu memiliki pemikiran yang lebih terbuka. Pola pikir mereka pun berubah. Ibu-ibu memilih membaca buku daripada bergosip," kata Tirta.

     Sayang, karena biaya penerbitan setelah dua edisi ditanggung sendiri, koran tidak bisa terbit secara rutin. Kadang koran ini terbit dua bulan sekali, tergantung dananya. Dalam perjalanan, ternyata banyak pihak yang membantu hingga Koran Ibu Pasinaon bisa terbit hingga kini.


Percaya diri


     Sukses dengan Koran Ibu Pasinaon, TBM Warung Pasinaon mencoba menerbitkan media untuk anak-anak berjudul Ekspas singkatan Ekspresi Pasinaon. Penerbitan buletin ini juga diawali bantuan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk penerbitan dua edisi.

     Ekspas berisi tulisan anak-anak yang aktif di TBM Warung Pasinaon. Mereka menulis pengalaman sehari-hari, kiat belajar dengan mudah, puisi, dan cerpen. Media itu juga memiliki tiras 1.000 eksemplar sekali terbit.

     "Sekarang yang menata grafis masih orang lain. Kami ingin semuanya dikerjakan anak-anak supaya betul-betul dari dan untuk anak. Beberapa anak sedang dilatih untuk menguasai program tata letak," ujarnya.

     Setelah mengikuti berbagai kegiatan di TBM Warung Pasinaon, anak-anak kian mandiri. Mereka yang sebelumnya tak yakin akan kemampuannya menjadi lebih percaya diri. Tirta mengatakan, anak-anak hanya membutuhkan ruang untuk mengekspresikan apa yang ada dalam pikiran mereka.

     Oleh karena itu, Tirta tetap terbuka jika anak-anak meminta sesuatu, sepanjang hal itu baik dan memungkinkan dipenuhi. Ada anak yang minta berenang, misalnya, Tirta akan segera mengusahakan. Dia menghubungi teman-teman dan donatur untuk berpartisipasi membantu mewujudkan hal itu.

     "Ternyata masih banyak orang yang peduli. Saya yakin, kalau kita melakukan hal yang benar, selalu ada jalan terbuka untuk mewujudkannya," tuturnya.


Dikutip dari KOMPAS, JUMAT, 16 MARET 2012

Kampung Literasi Bergaslor

 


Provinsi Jawa Tengah melalui P2PAUDNI Regional 2 Jawa Tengah mengalokasikan dana Rp300 juta untuk mengembangkan Kampung Literasi. Sebagai uji coba, Desa Bergaslor Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang ditunjuk sebagai percontohan. Menjadi Kampung Literasi pertama di Jawa Tengah, sekaligus di Indonesia.
Kampung literasi, menurut Jamaludin dari Dikmas P2PAUDNI, merupakan satu upaya mewujudkan masyarakat berliterasi dengan makna luas. Yakni upaya memerdekakan masyarakat dari keniraksaraan agar memiliki pengetahuan serta pemahaman lebih luas.
Kegiatan Kampung Literasi difokuskan pada penyediaan bahan bacaan pada gardu baca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), warung baca, pojok baca, teknologi Informasi, serta literasi seni budaya dan literasi kesehatan.
’’Banyak literasi yang bisa digarap dalam kampung literasi,’’ kata Kabid Dikmas P2PAUDNI Drs. Suka MPd. (Suara Merdeka, 2/6/ 2012).
Ijtihad literasi Pemerintah Jateng ini perlu kita sokong bersama. Saya kira, dalam konteks jargon bali ndeso mbangun desa, program Kampung Literasi tersebut juga sangat relevan. Hanya saja yang harus ditilik ulang, jangan sampai program tersebut sekadar berorientasi proyek semata. Bersifat jangka pendek. Tidak memiliki visi yang jelas. Serta kaburnya titik tujuan terjauh yang hendak dicapai.
Melalui tulisan ini, izinkan saya memberikan beberapa catatan penting agar kekuatiran-kekuatiran di atas tidak berlangsung. Catatan penting tersebut adalah bertalian dengan frasa “Kampung Literasi” dilihat dari segi teks maupun konteks. Pemahaman atas teks dan konteks frasa “Kampung Literasi” akan memahamkan sekaligus merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang bisa disusun dan infrastruktur yang harus ada dalam sebuah “Kampung Literasi.”
Saya mulai dari lema pertama, yakni “kampung”. Kata ini bisa didekati melalui dua pendekatan: geografis, dan sosiologis. Pendekatan geografis menghasilkan pengertian atau definsi yang bersifat fisikal. Hasil dari pendekatan ini berupa data-data yang bersifat kuantitatif dan fisikal. Misalnya luasan kampung. Batas kampung. Lokasi atau posisi kampung. Data yang terkumpul menjadi input saat merumuskan fokus luasan area kerja/program.
Sedangkan pendekatan sosiologis akan menghasikan data-data bersifat kualitatif—yang pada beberapa kasus bisa diangkakan, dan intangibel. Misalnya tingkat pendidikan, mata pencaharian, rerata pendapatan perhari/bulan, para pelaku seni dan budaya, sistem norma yang disepakati, sistem religi yang amini, struktur sosial yang telah melembaga, pola kekerabatan, serta praktik berekonomi yang berlaku.
Pengetahuan yang lengkap dari segi sosiologis atas sebuah kampung akan membawa warganya semakin mengetahui, dan memahami nilai-nilai lokalitas yang disadari atau tidak telah turut membentuk identitas dirinya. Baik sebagai makhluk personal (individual, pribadi), maupun komunal (masyarakat, bagian dari lingkungan di mana ia hidup). Tidak cukup di situ, pemahaman itu akan memunculkan kesadaran baru berupa ikhtiar untuk mendayagunakan segenap potensi yang ada agar lebih optimal. Lebih memberikan manfaat yang nyata buat diri dan orang lain. Benefit sosial maupun profit ekonomi.
Pada titik itu, tiap warga kampung akan menjadi pribadi-pribadi yang otonom. Berani tampil menjadi subjek yang mampu memberikan tafsir, dan penilaian (baru) atas sejarah geografis dan sosiologis kampungnya.
Sekarang kita berbicara tentang lema kedua, yaitu literasi. Selama ini, kata literasi dipadankan dengan kata keberaksaraan atau melek huruf. Secara konseptual, ada tiga kategori melek huruf. Yaitu pertama, melek huruf secara teknis. Artinya jika seseorang sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, maka ia bisa dikatakan sudah melek huruf secara teknis.
Kedua, melek huruf secara fungsional. Artinya seseorang yang secara teknis sudah bisa membaca, dan ia mempraktikkan kemampuan membacanya itu. Hanya saja, teks yang dibaca terbatas pada teks (bahan bacaan/buku) yang ada kaitannya dengan pekerjaan/profesinya. Melek huruf ketegori ini juga bermakna kemampuan pembacanya menghubungkan antara buku yang dibaca dengan pekerjaannya. Termasuk mempraktikkan isi suatu buku, untuk kemudian ditekuni, dikembangkan dan dijadikan profesi yang menghasilkan keuntungan ekonomi.
Ketiga, melek huruf secara budaya. Yakni mereka yang bisa membaca, mempraktikkan kemampuan membacanya, dan buku yang dibaca tidak hanya terbatas pada tema-tema yang sama dengan bidang pekerjaannya. Melek huruf jenis ketiga ini juga tidak menjadikan buku sebagai satu-satunya sumber bacaan.
Atas dasar pemahaman frasa “Kampung Literasi” di atas, maka hemat saya dalam sebuah Kampung Literasi, tiap gerai baca yang dibangun, entah itu namanya gardu baca, TBM, warung baca, pojok baca, atau apapun namanya mayoritas koleksi buku dan non buku (film, musik, piranti teknologi informasi/alat peraga) yang dilayankan juga harus linear dengan karakteristik lokasi yang dijadikan gerai baca. Di ruang tunggu puskesmas atau posyandu tepatlah kiranya jika memperbanyak buku-buku tentang kesehatan. Di ruang tunggu bengkel, manjakan para pelanggan dengan buku-buku dan bahan bacaan yang bertalian dengan otomotif. Baik sepeda motor maupun mobil.
Sedangkan di lembaga keuangan dan perbankan misalnya, maka buku-buku tentang keuangan, kewirausahaan, managemen cash flow, perbankan, investasi, ekonomi, saya kira sangat tepat untuk dikoleksi.
Linearitas antara isi koleksi dan lokasi gerai baca akan mendaulat tiap gerai baca menjadi gerai-gerai baca yang memiliki keunikan dan kekhasan. Keunikan itu penting agar sebuah Kampung Literasi bisa menjadi tempat bagi lahir dan tumbuhnya simpul-simpul komunitas pembaca buku, sekaligus praktisi tematik: kesehatan, transportasi, perbankan, otomotif, dan lain sebagainya. Kampung Literasi tidak sekadar himpunan TBM, tapi juga memberikan ruang, fasilitasi, dan kesempatan untuk mempraktikkan dan mengembangkan isi bacaan. 

Sekilas Program Raskin

Kelurahan Bergaslor sampai dengan saat ini memiliki total 88 Rumah Tangga Sasaran (RTS)

Pengambilan Raskin dilayani di Kantor Kelurahan dengan membawa Kartu BLSM. Harga per karung (15 Kg) Rp. 24.000,-

 

Sekilas tentang Raskin

Penyaluran RASKIN (Beras untuk Rumah Tangga Miskin) sudah dimulai sejak 1998. Krisis moneter tahun 1998 merupakan awal pelaksanaan RASKIN yang bertujuan untuk memperkuat ketahanan pangan rumah tangga terutama rumah tangga miskin. Pada awalnya disebut program Operasi Pasar Khusus (OPK), kemudian diubah menjadi RASKIN mulai tahun 2002, RASKIN diperluas fungsinya tidak lagi menjadi program darurat (social safety net) melainkan sebagai bagian dari program perlindungan sosial masyarakat. Melalui sebuah kajian ilmiah, penamaan RASKIN menjadi nama program diharapkan akan menjadi lebih tepat sasaran dan mencapai tujuan RASKIN.
Penentuan kriteria penerima manfaat RASKIN seringkali menjadi persoalan yang rumit. Dinamika data kemiskinan memerlukan adanya kebijakan lokal melalui musyawarah Desa/Kelurahan. Musyawarah ini menjadi kekuatan utama program untuk memberikan keadilan bagi sesama rumah tangga miskin.
Sampai dengan tahun 2006, data penerima manfaat RASKIN masih menggunakan data dari BKKBN yaitu data keluarga prasejahtera alasan ekonomi dan keluarga sejahtera I alasan ekonomi. Belum seluruh KK Miskin dapat dijangkau oleh RASKIN. Hal inilah yang menjadikan RASKIN sering dianggap tidak tepat sasaran, karena rumah tangga sasaran berbagi dengan KK Miskin lain yang belum terdaftar sebagai sasaran.
Mulai tahun 2007, digunakan data Rumah Tangga Miskin (RTM) BPS sebagai data dasar dalam pelaksaaan RASKIN. Dari jumlah RTM yang tercatat sebanyak 19,1 juta RTS, baru dapat diberikan kepada 15,8 juta RTS pada tahun 2007, dan baru dapat diberikan kepada seluruh RTM pada tahun 2008. Dengan jumlah RTS 19,1 juta pada tahun2 008, berarti telah mencakup semua rumah tangga miskin yag tercatat dalam Survei BPS tahun 2005. Jumlah sasaran ini juga merupakan sasaran tertinggi selama RASKIN disalurkan. Penggunaan data Rumah Tangga Sasaran (RTS) hasil pendataan Program Perlindungan Sosial tahun 2008 (PPLS – 2008) dari BPS diberlakukan sejak tahun 2008 yang juga berlaku untuk semua program pengentasan kemiskinan yang dilaksanakan oleh Pemerintah.
Realisasi RASKIN selama 2005 - 2009 berkisar antara 1,6 juta ton - 3,2 juta ton. Dengan harga tebus Rp.1.000/kg sampai dengan 2007 dan Rp.1.600/kg sejak tahun 2008, RASKIN bukan hanya telah membantu rumah tangga miskin dalam memperkuat ketahanan pangannya, namun juga sekaligus menjaga stabilitas harga. RASKIN telah mengurangi permintaan beras ke pasar oleh sekitar 18,5 juta pada tahun 2009. Selain itu, perubahan harga tebus dari Rp.1.000/kg menjadi Rp.1.600/kg juga dengan mempertimbangkan anggaran dan semakin banyaknya rumah tangga sasaran yang dapat dijangkau. Harga ini juga masih lebih rendah dari harga pasar yang saat itu rata-rata sekitar Rp.5.000 – 5.500/kg.
Dampak RASKIN terhadap stabilisasi harga terlihat pada saat RASKIN hanya diberikan kurang dari 12 bulan (seperti pada tahun 2006 = 11 bulan dan tahun 2007 = 10 bulan). Harga beras akhir tahun 2006 dan awal 2007 serta akhir tahun 2007 dan awal 2008 meningkat tajam. Pada saat itulah, pemerintah melakukan Operasi Pasar Murni (OPM) dan Operasi Pasar Khusus dari Cadangan Beras Pemerintah (OPK - CBP).
Beberapa kendala dalam pelaksanaan RASKIN selama ini terutama dalam pencapaian ketepatan indikator maupun ketersediaan anggaran. Sampai dengan saat ini, jumlah beras yang akan disalurkan baru ditetapkan setelah anggarannya tersedia. Selain itu ketetapan atas jumlah beras raskin yang disediakan juga tidak selalu dilakukan pada awal tahun, dan sering dilakukan perubahan di pertengahan tahun karena berbagai faktor. Hal ini akan menyulitkan dalam perencanaan penyiapan stoknya, perencanaan pendanaan dan perhitungan biaya-biayanya.
Data RTS yang dinamis menjadi suatu kendala tersendiri di lapangan. Masih ada RTM di luar RTS yang belum dapat menerima RASKIN karena tidak tercatat sebagai RTS di BPS. Kebijakan lokal dan “keikhlasan” sesama RTM dalam berbagi, tidak jarang dipersalahkan sebagai ketidaktepatan sasaran.
Ketepatan harga terkendala dengan hambatan geografis. Jauhnya lokasi RTS dari Titik Ditsribusi mengakibatkan RTS harus membayar lebih untuk mendekatkan beras ke rumahnya. Harga tebus RASKIN oleh RTS tidak lagi seharga Rp.1.000/kg atau 1.600/kg karena RTS harus membayar biaya-biaya lain untuk operasional dan angkutan dari Titik Distribusi (TD) ke rumah mereka. Peran Pemerintah Kabupaten/Kota untuk membantu RTS mencapai tepat harga perlu terus didorong. Saat ini sudah banyak Pemerintah Kabupaten/Kota yang menyediakan dana APBD-nya untuk RASKIN.
Apresiasi bagi Pemerintah Kabupaten/Kota patut diberikan karena perhatian terhadap penyediaan dan pengalokasian APBD serta pengawalan terhadap pelaksanaan RASKIN. Kepedulian terhadap program RASKIN berarti kepedualian terhaap RTS yang muncul dari hati nurani untuk mengentaskan kemiskinan. Kesadaran bahwa RASKIN merupakan tugas bersama Pemerintah Pusat dan Daerah untuk membantu mengurangi beban pengeluaran 18,5 juta RTS (pada tahun 2009), perlu terus ditumbuhkan.
Untuk mencapai tepat sasaran, tepat harga dan tepat waktu, beberapa penyempurnaan terus dilakukan. Salah satunya adalah dengan pola distribusi yang berkembang tidak hanya melalui titik distribusi yang langsung disalurkan kepada RTS namun juga melalui Warung Desa (Wardes). Melalui Wardes, penyaluran RASKIN menjadi lebih dekat kepada RTS dan RTS membeli beras secara bertahap sesuai daya belinya selama 1 bulan dengan harga sesuai dengan ketetapan. Penyaluran melalui Wardes berawal dari pilot project pada akhir tahun 2008 dan mulai diimplementasikan sejak tahun 2009.
Melalui Wardes, sistem administrasi distribusi RASKIN juga yang dituangkan dalam Daftar Penerima Manfaat 1 (DPM 1), pembagian kartu RASKIN, dan realisasi penerimaan beras oleh RTS dapat diperbaiki mulai dari awal. Juga dimungkinkan dapat diterapkan sistem pembayaran melalui kerjasama dengan jaringan unit-unit perbankan di Desa/Kelurahan secara langsung.
Peningkatan ketepatan sasaran juga terus ditingkatkan melalui pendampingan pola distribusi melalui kelompok masyarakat pada tahun 2009. Distribusi RASKIN dilakukan oleh kelompok masyarakat yang umumnya berbasis keagamaan maupun oleh kelompok masyarakat miskin penerima manfaat RASKIN.