Kamis, 05 Desember 2013

Kampung Literasi Bergaslor

 


Provinsi Jawa Tengah melalui P2PAUDNI Regional 2 Jawa Tengah mengalokasikan dana Rp300 juta untuk mengembangkan Kampung Literasi. Sebagai uji coba, Desa Bergaslor Kecamatan Bergas, Kabupaten Semarang ditunjuk sebagai percontohan. Menjadi Kampung Literasi pertama di Jawa Tengah, sekaligus di Indonesia.
Kampung literasi, menurut Jamaludin dari Dikmas P2PAUDNI, merupakan satu upaya mewujudkan masyarakat berliterasi dengan makna luas. Yakni upaya memerdekakan masyarakat dari keniraksaraan agar memiliki pengetahuan serta pemahaman lebih luas.
Kegiatan Kampung Literasi difokuskan pada penyediaan bahan bacaan pada gardu baca, Taman Bacaan Masyarakat (TBM), warung baca, pojok baca, teknologi Informasi, serta literasi seni budaya dan literasi kesehatan.
’’Banyak literasi yang bisa digarap dalam kampung literasi,’’ kata Kabid Dikmas P2PAUDNI Drs. Suka MPd. (Suara Merdeka, 2/6/ 2012).
Ijtihad literasi Pemerintah Jateng ini perlu kita sokong bersama. Saya kira, dalam konteks jargon bali ndeso mbangun desa, program Kampung Literasi tersebut juga sangat relevan. Hanya saja yang harus ditilik ulang, jangan sampai program tersebut sekadar berorientasi proyek semata. Bersifat jangka pendek. Tidak memiliki visi yang jelas. Serta kaburnya titik tujuan terjauh yang hendak dicapai.
Melalui tulisan ini, izinkan saya memberikan beberapa catatan penting agar kekuatiran-kekuatiran di atas tidak berlangsung. Catatan penting tersebut adalah bertalian dengan frasa “Kampung Literasi” dilihat dari segi teks maupun konteks. Pemahaman atas teks dan konteks frasa “Kampung Literasi” akan memahamkan sekaligus merekomendasikan kegiatan-kegiatan yang bisa disusun dan infrastruktur yang harus ada dalam sebuah “Kampung Literasi.”
Saya mulai dari lema pertama, yakni “kampung”. Kata ini bisa didekati melalui dua pendekatan: geografis, dan sosiologis. Pendekatan geografis menghasilkan pengertian atau definsi yang bersifat fisikal. Hasil dari pendekatan ini berupa data-data yang bersifat kuantitatif dan fisikal. Misalnya luasan kampung. Batas kampung. Lokasi atau posisi kampung. Data yang terkumpul menjadi input saat merumuskan fokus luasan area kerja/program.
Sedangkan pendekatan sosiologis akan menghasikan data-data bersifat kualitatif—yang pada beberapa kasus bisa diangkakan, dan intangibel. Misalnya tingkat pendidikan, mata pencaharian, rerata pendapatan perhari/bulan, para pelaku seni dan budaya, sistem norma yang disepakati, sistem religi yang amini, struktur sosial yang telah melembaga, pola kekerabatan, serta praktik berekonomi yang berlaku.
Pengetahuan yang lengkap dari segi sosiologis atas sebuah kampung akan membawa warganya semakin mengetahui, dan memahami nilai-nilai lokalitas yang disadari atau tidak telah turut membentuk identitas dirinya. Baik sebagai makhluk personal (individual, pribadi), maupun komunal (masyarakat, bagian dari lingkungan di mana ia hidup). Tidak cukup di situ, pemahaman itu akan memunculkan kesadaran baru berupa ikhtiar untuk mendayagunakan segenap potensi yang ada agar lebih optimal. Lebih memberikan manfaat yang nyata buat diri dan orang lain. Benefit sosial maupun profit ekonomi.
Pada titik itu, tiap warga kampung akan menjadi pribadi-pribadi yang otonom. Berani tampil menjadi subjek yang mampu memberikan tafsir, dan penilaian (baru) atas sejarah geografis dan sosiologis kampungnya.
Sekarang kita berbicara tentang lema kedua, yaitu literasi. Selama ini, kata literasi dipadankan dengan kata keberaksaraan atau melek huruf. Secara konseptual, ada tiga kategori melek huruf. Yaitu pertama, melek huruf secara teknis. Artinya jika seseorang sudah bisa mengenal huruf, kata, dan kalimat, maka ia bisa dikatakan sudah melek huruf secara teknis.
Kedua, melek huruf secara fungsional. Artinya seseorang yang secara teknis sudah bisa membaca, dan ia mempraktikkan kemampuan membacanya itu. Hanya saja, teks yang dibaca terbatas pada teks (bahan bacaan/buku) yang ada kaitannya dengan pekerjaan/profesinya. Melek huruf ketegori ini juga bermakna kemampuan pembacanya menghubungkan antara buku yang dibaca dengan pekerjaannya. Termasuk mempraktikkan isi suatu buku, untuk kemudian ditekuni, dikembangkan dan dijadikan profesi yang menghasilkan keuntungan ekonomi.
Ketiga, melek huruf secara budaya. Yakni mereka yang bisa membaca, mempraktikkan kemampuan membacanya, dan buku yang dibaca tidak hanya terbatas pada tema-tema yang sama dengan bidang pekerjaannya. Melek huruf jenis ketiga ini juga tidak menjadikan buku sebagai satu-satunya sumber bacaan.
Atas dasar pemahaman frasa “Kampung Literasi” di atas, maka hemat saya dalam sebuah Kampung Literasi, tiap gerai baca yang dibangun, entah itu namanya gardu baca, TBM, warung baca, pojok baca, atau apapun namanya mayoritas koleksi buku dan non buku (film, musik, piranti teknologi informasi/alat peraga) yang dilayankan juga harus linear dengan karakteristik lokasi yang dijadikan gerai baca. Di ruang tunggu puskesmas atau posyandu tepatlah kiranya jika memperbanyak buku-buku tentang kesehatan. Di ruang tunggu bengkel, manjakan para pelanggan dengan buku-buku dan bahan bacaan yang bertalian dengan otomotif. Baik sepeda motor maupun mobil.
Sedangkan di lembaga keuangan dan perbankan misalnya, maka buku-buku tentang keuangan, kewirausahaan, managemen cash flow, perbankan, investasi, ekonomi, saya kira sangat tepat untuk dikoleksi.
Linearitas antara isi koleksi dan lokasi gerai baca akan mendaulat tiap gerai baca menjadi gerai-gerai baca yang memiliki keunikan dan kekhasan. Keunikan itu penting agar sebuah Kampung Literasi bisa menjadi tempat bagi lahir dan tumbuhnya simpul-simpul komunitas pembaca buku, sekaligus praktisi tematik: kesehatan, transportasi, perbankan, otomotif, dan lain sebagainya. Kampung Literasi tidak sekadar himpunan TBM, tapi juga memberikan ruang, fasilitasi, dan kesempatan untuk mempraktikkan dan mengembangkan isi bacaan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar